Minhaj menghabiskan masa kecilnya di Tlogogedong, Karangawen, Demak. Sedesa dengan ulama di zamannya, KH Abdurrohman, menantu dari Raden Sanusi Karanggondang. Orangtua Minhaj pisah karena sebuah alas an. Hal ini justru menjadikan Minhaj terlihat tampil sebagai pengayom bagi adik-adiknya. Minhaj muda sudah menjadi contoh melalui keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
Minhaj giat membantu aktifitas Sang Bunda. Di usia 10 tahun, setiap hari mengantarkan barang dagangan ke pasar dan menggembala kambing di saat anak seusianya masih asik bermain dan tertawa ria.
Minhaj tumbuh besar dengan pondasi karakter tanggungjawab. Hal ini dapat dilihat melalui kebimbangan Minhaj saat akan memulai kelana Pendidikan yang akan ia tempuh. Di satu sisi, ia bergelora ingin menimba ilmu agama, sedang di sisi lain ia tidak sampai hati meninggalkan ibu terkasihnya. Namun ibunya tetap menyuruh ia meninggalkan kampung halaman demi mengais ilmu dan pelajaran kehidupan. Uang yang sedianya akan digunakan untuk memperbaiki rumah, diurungkan oleh ibunya demi membiayai pendidikannya. Ibunya rela melayani kebutuhan keluaraga dengan pribadi sendiri. Minhaj kemudian melanjutkan belajar kepada KH Sholeh, Darat, Semarang. Ia memperdalam ilmu tasawuf dengan mengaji kitab Al Hikam dan Bidayatul Hidayah hingga satu saat kemudian Minhaj dijodohkan dengan Maryam, putri KH Abdurrohman, cucu Syaikh Raden KH Sanusi.
Baru saja ia menikmati bulan madu, Minhaj melanjutkan studinya ke pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur serta kemudian berpindah pengembaraan keilmuan kepada KH Idris, Jamsaren Solo. Kebetulan KH Idris ini juga murid KH Sholeh Darat. Jadi selain status ia sebagai santri, antara Minhaj dan KH Idris adalah seperguruan. Disana ia mengaji kitsb Ihya’ Ulumuddin, karya monumental dari hujjatul islam, Muhammad Al Ghozali.
Selama belajar, Minhaj tak pernah tidur dengan sengaja, ia hanya tidur bila tertidur. Seakan tidak mengenal lelah, ia selalu giat dalam belajar. Tak heran jika teman terdekatnya adalah kitab kuning dan alat tulis yang selalu ia kaji.
Suatu saat ketika musyawaroh, Minhaj diberi kesempatan untuk berbicara, merasa mendapat momen baik, dengan penuh tawadlu’ dan percaya diri ia menjelaskan dengan detail beserta rujukan kitabnya. Sejak saat itulah ia dihormati dan disegani teman-temannya. Namun itu tak membuat Minhaj menjadi bangga dan sombong. Sebaliknya, ia semakin tawadlu’. Padahal sebelum itu, ia sering sekali mendapat ejekan bahwa ia adalah anak yang tolol dan bodoh. Namun, ia tidak dendam, bahkan memaafkannya.
Untuk biaya selama di pondok, Minhaj memberi ma’na kitab kuning kosong dengan tulisannya yang indah dan jelas. Sehingga banyak santri yang tertarik dengan kreasinya. Dari situlah Minhaj mendapat upah, sebagai bekal hidupnya di pesantren.
Dalam hal makanan, Minhaj sangat wira’I (hati-hati level tinggi). Dalam satu kisah, ada sahabatnya sekamar, Sarbini namnya. Ia memberi intip (kerak nasi) pada Minhaj, Minhaj tak mudah menerima begitu saja.
“soko ngendi intep iki kang?” (dari mana kerak nasi ini kang?) Minhaj bertanya.
“soko gone konco-konco sing wia rak digunakake terus tak kumpulke, tak kumbah resik tak wenehi parutan klopo” (dari teman-teman yang sudah tidak digunakan, kemudian saya cuci bersih dan saya beri parutan kelapa) jawab Sarbini.
“wis ijin opo durung wau kang?” (sudakah anda meminta izin kang?) tanya Minhaj lagi dan dijawab Sarbini. “durung Kang Kyai.” (belum kang kyai)
“yowes matur nuwun kang aku isih warek” (ya sudah kang, terima kasih saya masih kenyang) tolak minhaj dengan hati-hati, tanpa menyinggung perasaan Sarbini.
Walaupun sebenarnya ia belum makan dan benar-benar lapar. Namun ia tetap menahannya, demi berhati-hati (Wira’i) agar tidak memakan barang syubhat, apalagi haram. Karena ia tahu, hal itu dapat menjadikan hati keras, dan ilmunya tidak barokah.
Setelah Minhaj pulang dari Jamsaren Solo, dan berganti nama menjadi Syarqowi, sebuah nama yang ia peroleh ketika mondok kepada KH Idris Jamsaren Solo, ia bermukim dan berdakwah di Desa Tanggungharjo, Grobogan atas isyarat dari mertuanya, KH Abdurrahman.
Pada periode awal berdakwahnya, ia hanya mengajarkan baca tulis Al Qur’an. Seiring perkembangan anak-anak yang beranjak dewasa, ia mengembangkan pada kajian kitab-kitab kuning salaf. Metode bandongan dan soroganpun ia terapkan dengan telaten. Dibimbingnya para murid dengan penuh telaten dan kesabaran, ia bacakan makna di hadapan para murid, ia perintahkan mengulang makna yang telah ia bacakan satu per satu.
Diantara kitab-kitab yang ia kaji adalah Al Imrithi, AlFiyyah, Fathul Qorib, Al Hikam, Hasyiyah Ad Dasuqi, Ihya’ Ulumuddin, dan lain sebagainya. Ada satu kitab yang menjadi wiridan rutinnya, yaitu Al Kafrawi. Ya, kitab yang membahas tentang tarkib (gramatika arab) tersebut, ketika telah khatam, ia ulangi lagi. Begitu berputar terus. Tak heran jika dahulu, pondok Tanggung (sebutan bagi pesantren KH Syarqowi, red) terkenal sebagai spesialis ahli tarkib. Bahkan, sampai-sampai banyak dari santri pondok lain ingin tabarrukan di Pondok Tanggung.
Menjadi Mursyid Tariqah
Kyai Syarqowi oleh pemerintah Hindia Belanda juga pernah ditunjuk sebagai pembimbing haji dan amirul haj untuk wilayah Semarang. Sehingga semasa hidupnya KH Syarqowi mampu berhaji sebanyak tujuh kali. Tak hanya itu, putra-putranya pun juga beliau hajikan. Diantaranya KH Usman, KH Abdul Fatah, KH Siroj, dan KH Mahfudz.
Saat itu haji membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tujuh bulan. Oleh karena itu, sambal sambal menunggu kapal pemberangkatan pulang ke tanah air, atas petunjuk KH Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen (kakeh KH Munif Zuhri Girikusumo). Ia diantarkan kepada salah seorang ulama Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah di Jabal Qubais Makkah Al Mukarromah yang bernama Syaikh Sulaiman Zuhdi.
Kepada Syaikh Sulaiman Zuhdi, KH Syarqowi dan KH Muhammad Hadi Girikusumo berbaiat dan mendalami ilmu thariqah dan tasawuf. Setelah sekian lama belajar dan menajalani suluk di bawah pengawasan Syaikh Sulaiman Zuhdi, dan dirasa telah cukup mumpuni. Akhirnya, mereka berdua diperkenankan pulang ke tanah air dan dibekali kitab sanad thariqah berjudul Majmu’ah Arrasa’il ala Ushulil Khalidiyah Al Majdiyah Annaqsabandiyah. Mereka juga diberi izin untuk mengajarkan ilmu tersebut, ketika telah sampai di daerahnya masing-masing. Dan benar, KH Syarqowi di daerah Tanggungharjo, sedangkan KH Muhammad Hadi di daerah Girikusumo, Mranggen, Demak.
Setelah menjadi mursyid, ia tetap menjadi orang yang rendah hati, ramah dan pemaaf. Hal itu terbukti dengan kisah ditantangnya Kiai Syarqowi oleh yang menganut ajaran Syaikh Siti Jenar, manunggaling kawulo marang gusti. Orang itu menantang adu kekuatan, namun tidak diladeni sama sekali.
Berbagai cara telah dilakukan demi menyulut emosi KH Syarqowi, namun lagi-lagi usahanya gagal. Suatu ketika, orang tersebut mengirim kuda ghaib antic dan ajaib untuk menggangu santri-santri KH Syarqowi tak sedikitpun ia gubris. Ia berkata “Kita punya ilmu itu tidak untuk dibuat bermusuh-musuhan, tapi tujuannya untuk meluhurkan agama Allah”. Akhirnya perusuh itu Lelah dengan sendirinya setelah tidak mendapat tanggapan apapun dari KH Syarqowi. Setelah itu ia merasa bersalah dan meminta maaf kepadanya.
KH Syarqowi sowan ke hadirat Allah SWT pada Hari Jumat Pahing, 16 Rajab 1363 bertepatan dengan 7 Juli 1944 M. Dengan meninggalkan 4 orang putra dan 2 orang putri, KH Usman, KH Abdul Fatah, KH Siroj, KH Mahfudz, Hj Sa’diyah, dan Hj Muslihah.
(Dikutip dari Manaqib Simbah Kyai Haji Syarqowi yang ditulis oleh cucu dari buyut beliau yaitu M. Habibillah bin H. Hasan Anwar Zen bin Abdurrohman)