KELAHIRAN
KH. Syamsuri Brabo lahir pada tanggal 21 April 1906 di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Dahlan bin Nolo Khoiron, seorang pemuka agama dan oleh masyarakat dipercaya menjadi imam di sebuah mushala di desa Tlogogedong Demak.
WAFAT
KH. Syamsuri Brabo berpulang ke rahmatullah tepat ba’da Magrib malam Rabu, 23 Shofar (4 Oktober 1988). Makam KH. Syamsuri Brabo berada di pemakaman keluarga Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Kecamatan Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah.
PENDIDIKAN
Sebagaimana putra seorang pemuka agama, Syamsuri muda sudah diajari pengetahuan keagamaan dasar dengan cukup lengkap, baik dalam hal ibadah, akidah, fikih, juga al-Qur’an. Baginya, guru yang pertama adalah KH. Dahlan, ayahnya sendiri. Selanjutnya, Syamsuri muda belajar kepada KH. Abdurrohman Tlogogedong Demak Jawa Tengah.
Saat nyantri kepada KH. Abdurrohman itulah, Syamsuri pernah mendapat wejangan, “Seng sregep ngajine, sisok tak pek mantu” (Kamu rajin mengaji ya…, besok saya jadikan menantu).
Berbekal keyakinan dan semangat yang tinggi, Syamsuri melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada Kiai Irsyad Gablog. Setelah selesai, beliau melanjutkan dengan nyantri di Mangkang, lalu belajar juga di Pesantren Tebuireng di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari.
Kemudian melanjutkan dengan belajar fan hadits (Shohih Bukhori dan Shohih Muslim) kepada KH. Hasan Asy’ari di Poncol Bringin Salatiga. Setelah selesai, beliau kembali melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga di bawah asuhan KH. Tholhah.
Lalu kembali melanjutkan pendidikannya lagi dengan belajar kepada KH. Syarqowi Tanggung Tanggungharjo Grobogan Jawa Tengah selama tiga tahun, sebelum akhirnya diambil menantu oleh KH. Syarqowi. Hal ini karena KH. Syarqowi melihat kekhususan yang muncul dalam pribadi Kiai Syamsuri.
Di antara teman yang seangkatan dengan Kiai Syamsuri adalah KH. Muslih Mranggen Demak. Bahkan, Kiai Syamsuri dan KH. Muslih sama-sama alumni Pondok Tanggung, di bawah asuhan KH. Syarqowi.
Bahkan ada sebuah kisah menarik diantara keduanya, KH. Muslih Mranggen pernah meminjam kitab Shohih Bukhori kepada Kiai Syamsuri. Lalu, Kiai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus muridnya Shobari untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.
Tokoh lain yang seangkatan adalah KH. Arwani Kudus (hubungan dalam thoriqoh), KH. Shodaqoh (ayah KH. Haris Shodaqoh, pengasuh PP Al Itqon Gugen Semarang), KH. Nawawi Bringin Slatiga, dan KH. Ihsan Brumbung Mranggen Demak.
Dalam hal tarekat, Kiai Syamsuri mengambil sanad kepada Kyai Sarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. namun ia tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal (guru pengganti). Hal ini karena Kiai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.
MENDIRIKAN PESANTREN
Kehadiran KH. Syamsuri di Brabo bermula dari permintaan Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, tokoh agama Brabo. Keduanya meminta kepada Kiai Sarqowi agar menanamkan santrinya di desa Brabo.
Dengan bermodal ketaatan kepada guru dan doa restu KH. Sarqowi, mulailah KH. Syamsuri berjuang menegakkan agama Islam di tanah Brabo.
Metode dakwah KH. Syamsuri yaitu mendekati masyarakat dengan cara yang halus, bahkan berkunjung ke rumah mereka. Karena sifat sabar dan keuletannya, KH. Syamsuri berhasil merebut hati dan simpati masyarakat Brabo. Sehingga, banyak masyarakat Brabo mulai luluh hatinya.
Berbekal ilmu dari pesantren KH. Syamsuri mulai menggelar pengajian kecil-kacilan (bandongan) untuk kerabat, tetangga dan akhirnya sampai kemana-mana
Melihat makin bertambahnya santri yang mengaji maka masyarakat didaerah itu mengusulkan untuk mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat pembelajaran dan kamar untuk menginap santri-santri.
Pada 1941, berdirilah Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin. yang bermakna lentera penerang bagi mereka yang menuntut ilmu. Nama ini dimaksudkan agar para santri yang menuntut ilmu benar-benar memperoleh ilmu yang bermanfaat, yang bisa menerangi jalan kehidupan.
Selain itu, nama ini sebagai bentuk tabarukan (ngalap berkah) kepada ulama, terutama Syaikh Muhammad Ihsan Jampes Kediri (penulis kitab Sirojuth Tholibin), nama kitab yang diabadikan sebagai nama pesantren.
TELADAN
KH. Syamsuri di Brabo adalah pribadi yang tawadhu’ dan wira’i. Bahkan, sifat itu sudah terlihat saat masih nyantri di pesantren Poncol Bringin Salatiga, saat itu KH. Syamsuri diajak menonton bioskop oleh temannya. Tetapi, beliau justru tidak menonton film yang berlangsung. Beliau hanya menundukkan kepala dan membaca istighfar.
Di sisi lain, KH. Syamsuri adalah pribadi yang rajin dan teliti. Ia selalu membiasakan memberi makna gandul (jrendel/utawi-iku) pada kitab kuning yang kosong, bahkan semua kitab yang disodorkan oleh gurunya akan ia beri makna gandul. Kebiasaan ini tetap terbawa sampai KH. Syamsuri berumah tangga. Sebulan sekali, ia akan menjemur kitabnya di halaman rumah agar tidak dimakan serangga.
KH. Syamsuri tidak pernah malu bertanya kepada siapa pun yang lebih paham ketika mengalami kesulitan memahami sebuah ta’bir (wacana), dengan bahasa yang santun dan tawadlu’, “Kang, maksude ta’bire sangkeng lafadz niki pripun? Tiyang pondok boten saget sedoyo” (Kang, bagaimana penjelasan wacana ini? Orang-orang pondok tidak ada yang paham). Ungkapan ini tidak menunjukkan kebodohannya. Sebaliknya, hal itu merupakan ekspresi kecerdasan dan ketekunan Kyai Syamsuri dalam belajar.
KH. Syamsuri sangat wira’i (teliti), egaliter, dan terbuka. KH. Syamsuri tidak pernah mengambil sikap berhadap-hadapan atau memposisikan tokoh lain sebagai pesaing. hal itu tampak dari penuturan muridnya, bahwa sesaat setelah muridnya tadi pulang dari Pesantren al-Qur’an, KH. Syamsuri memerintahkan seluruh santrinya untuk mengaji al-Qur’an kepadanya setiap setelah subuh. KH. Syamsuri pasti menengok kamar santri dan menanyakan apakah mereka sudah mengaji Al Quran atau belum.
PRIBADI PENYABAR
Pada waktu itu malam hari. Zaman dahulu memang belum ada listrik, maka keadaan gelap gulita. Ada seorang santri yang sedang jalan-jalan malam, berkeliling untuk ronda. Sesampainya di sumur pondok, ia melihat sesosok orang yang tidak jelas maka ia bertanya sembari membentak, “Siapa itu?!..”. Sebaliknya, dengan nada yang halus dan tanpa marah, ada jawaban, “Aku Syamsuri” ternyata seorang tadi adalah KH. Syamsuri.
Di lain waktu, ada seorang santri yang mengambil kelapa pada malam hari. Si santri tadi berkeyakinan bahwa pada malam hari Kyai Syamsuri tidak akan mengetahuinya. Tetapi ternyata setelah santri tadi sudah ada di atas, KH. Syamsuri sudah ada di bawah dan menegurnya, “Ati-ati, Kang” hati-hati, Mas.
Paginya santri tadi dipanggil untuk ke kediaman KH. Syamsuri. Ada perasaan takut pada diri santri tersebut. Tetapi, apa yang dikatakan Kyai Syamsuri setelah santri tadi di ndalem? “Kang, sarapan dahulu. Setelah itu, kelapa di belakang tolong dipecah dan dibuang kulitnya” tanpa marah ataupun jengkel pada tingkah santri yang mencuri kelapa pada malam hari.
Suatu ketika KH. Syamsuri kehilangan ayam. Ia mengetahui siapa pencurinya. Ia tidak menangkapnya, tapi justru mengikutinya. Kemudian, setelah ayam itu dijual kepada orang lain, KH. Syamsuri segera membeli ayam tadi.
Di sisi lain, setiap ada tamu, baik santri alumni atau orang lain, KH. Syamsuri tidak pernah menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi-dunia, melainkan hanya bertanya tentang kesehatan, “Bagaimana kabarnya?” “Sekarang mondok di mana?” dari cerita tadi kita mengetahui betapa zuhudnya KH. Syamsuri. Bahkan kepada tamunya pun ia tidak akan menanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian.
KAROMAH
Ada satu kisah yang menarik tentang KH. Syamsuri Brabo tepatnya pada tahun 1960, lantai masjid Al-Muhajirin (masjid tempat ibadah santri dan masyarakat sekitar) yang terbuat dari susunan lembaran papan sempat rusak. KH. Syamsuri Brabo bermaksud memperbaikinya dengan membeli kayu milik Masjid Desa Jragung Demak lama. Tetapi, dana yang terkumpul masih kurang, meski masyarakat Brabo sudah memberikan jariyah.
Akhirnya, KH. Syamsuri menjual kitab Syarah Bukhori setebal 12 jilid besar kepada Bpk. Anwar (Toha Putera) Semarang kala itu dan saat menjual kitab tadi, KH. Syamsuri bermaksud bahwa suatu saat, ia akan membeli kitab tersebut kembali.
Beberapa waktu kemudian, KH. Hamid Kajoran Magelang berkunjung ke kediaman Bpk. Anwar. Kyai Hamid melihat setumpuk kitab yang teronggok. Menariknya, kitab tersebut sudah diberi makna dengan rapi dan bagus. Maka, KH. Hamid pun meminta kitab tadi dari Bpk Anwar. Karena yang meminta KH. Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.
Beberapa waktu kemudian, setelah pulang dari Makkah, KH. A. Baidhowi (putra ke-4 KH. Syamsuri) sowan kepada KH. Hamid Kajoran. KH. Hamid berkata, “Gus Dhowi, aku punya kitab. Tetapi, karena aku tidak bisa mengaji, maka kitab itu akan saya hadiahkan kepada sampeyan.”
KH. Hamid meminta KH. Baidhowi agar menginap di kamarnya. KH. Hamid mempersilakan agar KH. Baidhowi tidur di kamar atas, sedang KH. Hamid tidur di kamar bawah. Sampai larut malam, KH. Baidhowi tidak bisa tidur, karena rikuh (malu).
Paginya, KH. Hamid menghadiahkan kitab yang dijanjikan kepada KH. Baidhowi dengan syarat ia harus menyanggupi maharnya. KH. Baidhowi menyanggupi mahar tadi setelah berpikir agak lama. KH. Hamid menyebutkan, “Mahar yang pertama, doakanlah semua anak keturunanku suka dengan tamu.”
Mahar tambahan yang diminta KH. Hamid, yakni: “Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji”. Sedang, “Mahar ketiga, doakan anak cucuku suka mengaji.”
KH. Baidhowi berdoa dengan diamini KH. Hamid. Kemudian, KH. Hamid memerintahkan putranya, KH. Baqoh Arifin untuk mengantarkan KH. Baidhowi. Dalam perjalanan, kitab tersebut sempat terjatuh. Sesampainya di Brabo, kitab tersebut diberikan kepada KH. Syamsuri. Setelah dibuka, ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Bpk Anwar, KH. Syamsuri memeluk erat kitab tadi. Ia menangis.
sumber: https://www.laduni.id