K.H. Abdul Wahab Idris merupakan putra kedua dari sembilan bersaudara yang lahir pada tanggal 9 Agustus 1950 dari pasangan Bapak Ahmad Idris atau yang lebih dikenal dengan Mbah Atmo dengan Ibu Siswati.
Mbah Wahab, demikian masyarakat memanggil beliau, merupakan pendiri dan pengasuh pondok pesantren An Nashriyyah. Salah satu pondok pesantren dari lima pesantren yang ada di desa Brabo.
Dalam dunia pendidikan, Mbah Wahab muda memang lebih tertarik dengan dunia pesantren, meskipun sempat menempuh pendidikan formal yang saat itu masih disebut SR (Sekolah Rakyat). Hal ini terlihat jelas saat beliau tamat SR tidak lantas diteruskan ke jenjang pendidikan formal lanjutan sebagaimana teman-teman seusianya saat itu, namun memilih dunia pesantren sebagai tujuan utama. Bahkan dalam menempuh pendidikan pesantren pun, beliau memilih pondok pesantren yang tidak menekankan pada pendidikan formal, seperti Pondok Pesantren asuhan K.H. Murodi di Mranggen Demak, Pondok Pesantren al Ittihat di Poncol Bringin dan Pondok Pesantren al Muayyad di Mangkuyudan Surakarta.
Di pondok pesantran al Muayyad Mangkuyudan inilah beliau menghabiskan masa muda dengan berkhidmah kepada K.H. Umar Abdul Manan (ayahanda Ibu Nyai Maimunah, pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin). Di pesantren ini pula beliau dipertemukan dan dijodohkan dengan salah satu santri putri pilihan K.H. Umar Abdul Mannan asal Pulokulon Grobogan dan pada usia 26 tahun, bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1976 beliau resmi menikah dengan Ibu Mutmainnah putri dari K. Dimyati dan Muslihah.
Pernikahan tersebut tidak menyurutkan semangat beliau dalam berkhidmah dan menuntut ilmu. Hal ini tampak ketika masa awal berumah tangga, beliau masih tetap berdomisili di lingkungan pesantren al Muayyad Mangkuyudan. Bahkan setelah putra pertama beliau lahir, yaitu K. Ahmad Labib, beliau masih sering menempuh perjalanan pulang pergi antara desa Brabo, Pulokulon dan Mangkuyudan. Bahkan keluarga kecilnya kala itu sempat diboyong ke pesantren Pandanaran Yogyakarta atas permintaan K.H. Mufid Mas’ud.
Selang beberapa tahun kemudian, K. Syamsuri Dahlan (ayahanda K.H. Ahmad Baidlawi) meminta beliau untuk menetap di desa Brabo dengan tujuan ikut serta mengembangkan potensi di pesantren khususnya dan yang ada di masyarakat desa Brabo pada umumnya. Bersama dengan K. Sya’roni (ayahanda K.H. Imam Ghazali), beliau mengembangkan Madrasah Diniyah Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin yang memang telah menjadi basis pendidikan agama masyarakat desa Brabo. Melihat perkembangan jaman saat itu, beliau menilai perlunya pendirian lembaga pendidikan formal. Bersama-sama dengan dewan asatidz Madrasah Diniyah, beliau memberanikan diri mendirikan SMP Islam. Dari SMP Islam inilah nantinya menjadi Mts Tajul Ulum yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Yayasan Tajul Ulum yang sekarang telah memiliki tidak kurang dari empat lembaga formal dan tiga lembaga non formal.
Demikianlah, sosok yang dikenal semangat dalam belajar dan terus belajar, hingga sering terdengar pesan beliau; “Ojo nganggur, na nganggur digolekke gawean setan”. Beliau juga dikenal masyarakat sebagai pribadi yang tegas sampai-sampai tak jarang beliau berpesan: “Ojo ngomong ora iso, na durung dicubo”.
Pada hari Rabu tanggal 9 Maret 2016 bertepatan pada tanggal 29 Jumadill Awal 1438 pukul 13.30 WIB beliau wafat di Rumah Sakit Pelita Anugrah, dengan meninggalkan empat putra dan satu putri yang semuanya ikut berkhidmah di Yayasan Tajul Ulum.
Sumber : Muhammad Muiz, S.Pd.I (Putra ke-5 dari Romo KH. Abdul Wahab Idris)